This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 09 Januari 2016

Semaoen: Pelakon di Zaman Bergerak

Semaoen-01.jpg
Di bulan Mei 1917, seorang pemuda berusia 19 tahun menjabat Presiden Sarekat Islam (SI) Cabang Semarang. Dan sejak itu, sepak terjang pemuda belia ini menggegerkan tatanan kolonial.

Pemuda itu bernama Semaoen. Dia adalah bumiputera pertama yang menjadi propagandis Serikat Buruh. Dalam usia 21 tahun, ia sudah ditunjuk sebagai Ketua sebuah partai politik: Perserikatan Komunis Hindia. Karena itu, Semaoen adalah orang termuda dalam sejarah kepemimpinan partai politik di Indonesia.
Semaoen lahir di Mojokerto, Jawa Timur, pada tahun 1899. Ayahnya, Prawiroatmodjo, hanya seorang pegawai rendahan di perusahaan kereta api. Keluarganya hidup pas-pasan.

Namun demikian, pada tahun 1906, Semaoen bisa bersekolah di sekolah Bumiputera kelas dua (tweede klas). Selain itu, untuk menambah pengetahuan bahasa Belandanya, ia mengikuti kursus sore di Eerste Las Inlandsche School.

Sayang, keterbatasan ekonomi keluarganya menjegal langkah Semaoen untuk bersekolah di jenjang lebih tinggi. Karenanya, begitu tamat Sekolah Dasar, ia bekerja sebagai klerk (juru tulis) di Staats-Spoor (SS)—perusahaan kereta api milik Belanda. Saat itu usianya masih sangat belia: 13 tahun.
Pada tahun 1914, Semaoen bergabung dengan SI cabang Surabaya. Di tahun itu juga, karena kepiawaiannya, ia ditunjuk sebagai Sekretaris. Saat itu, di tempat kerjanya di SS, ia sudah menjadi agitator buruh kereta api.

Pada awal 1915, ia bertemu dengan Sneevliet, tokoh pendiri Indische Sociaal Democratische Vereniging/Perkumpulan Sosial-Demokratis Indonesia (ISDV) sekaligus penebar benih marxisme di bumi Hindia-Belanda saat itu. ISDV, yang berhaluan marxis-revolusioner, berdiri di Surabaya pada tahun 1914.
Semaoen kagum dengan pribadi Sneevliet, yang digambarkannya sebagai seorang yang ‘manusiawi, tulis, dan terbebas dari mental kolonial’. Pertemuan itulah yang mendorong Semaon tergerak untuk bergabung dengan ISDV dan VSTP (Vereniging Van Spoor-en Tramwegpersoneel).

Sejak itu Semaoen mulai tertarik dengan ide-ide marxisme. Ia melihat, ISDV dan VSTP—kendati didominasi orang Eropa—sangat berkomitmen membela nasib kaum buruh pribumi. Di tahun 1916, Semaoen ditunjuk sebagai sekretaris ISDV Surabaya. Tak hanya itu, ia juga menjadi pimpinan VSTP Surabaya.

Tahun 1916 juga Semaoen pindah ke Semarang. Di sana ia bekerja sebagai propagandis VSTP. Di Semarang, Semaoen juga menjadi editor di organ propaganda VSTP, Si Tetap.

Radikalisme SI Semarang

Kendati menjadi anggota ISDV dan VSTP, keanggotaan Semaoen di SI tidak ditanggalkan. Memang, di jaman itu, rangkap organisasi merupakan hal yang lumrah. Selain itu, strategi ISDV kala itu adalah bekerja di tengah gerakan massa yang sudah ada dan meradikalisasinya. Ruth McVey dalam The Rise Indonesian Communism, 1965, menyebutnya “strategi di dalam blok/block within.”

Di bulan Mei 1917, terjadi peralihan pimpinan SI Cabang Semarang. Semaoen tampil sebagai Presiden/Ketua. Pergantian kepengurusan ini, sebagaimana dicatat Soe Hok Gie di Bawah Lentera Merah, menandai perubahan gerakan SI Semarang, dari gerakan kaum menengah menjadi gerakan buruh-tani.
Di bawah Semaoen, SI lebih banyak menggarap isu-isu yang menyentuh rakyat banyak, terutama kaum buruh dan petani. Sebagimana dicatat Gie, ada lima isu yang digarap intensif oleh SI Semarang: membela kaum tani dari kerakusan kapitalis perkebunan, menolak pembentukan milisi Bumiputera (Indie Weerbaar), melawan wabah pes, pembelaan terhadap Sneevliet yang didera delik pers (persdelict), dan nasib kaum buruh.

Keberhasilan SI Semarang mengolah isu-isu di atas berkontribusi pada pembesaran keanggotannya. Pada tahun 1916, anggota SI Semarang hanya 1700 orang. Namun, hanya dalam setahun, keanggotaan SI Semarang naik berlipat-lipat kali menjadi 20.000-an orang. Tak hanya itu, nama Semaoen muncul sebagai propagandis dan agitator ulung.


Di lapangan propaganda, Semaoen juga melakukan perombakan. Organ propaganda SI Semarang, Sinar Hindia, dirombaknya agak lebih tajam dan membumi dalam memblejeti kejahatan sistim kolonialisme. Orang-orang yang berpikiran marxis dimasukkan dalam susunan redaksi, seperti Mas Marco dan Darsono. Tak lama kemudian, Sinar Hindia berganti nama menjadi Sinar Djawa.

Di bulan Oktober 1917, di Jakarta, berlangsung Kongres Nasional Sarekat Islam ke-2. Pertemuan ini menjadi panggung propaganda bagi SI Semarang, terutama Semaoen, untuk menebar ide-ide sosialistik ke cabang-cabang SI lainnya. Namun, upaya itu coba ditentang oleh tokoh konservatif SI, Abdul Moeis. Namun demikian, separuh peserta kongres menaruh simpati kepada Semaoen dan SI Semarang. “SI sekarang sudah bernada sosialis,” kata Abdul Moeis di koran Kaoem Moeda, 1917.

Pada tahun 1918, sesuai janjinya mengikutkan rakyat dalam soal pemerintahan, pemerintah kolonial membentuk Volksraad (Parlemen). Pada kenyatannya, parlemen bentukan kolonial ini tidak cukup memadai untuk menjadi corong menyuarakan aspirasi rakyat Hindia-Belanda. Maklum, parlemen ini dirancang hanya punya hak menyampaikan nasehat kepada Gubernur Jenderal. Tak hanya itu, representasi pribumi di Volksraad juga sangat minim. Dari 39 anggotanya, hanya 19 orang yang pribumi.

Semaoen menjadi pengeritik pedas Volksraad. Menurutnya, dari komposisi anggota Volksraad yang terpilih, hampir tidak ada yang mewakili kaum kromo. Sebagian besar mewakili ‘goepermen’, kapitalis, ningrat, dan boneka Belanda. Karenanya, ia menyebut Volksraad sebagai ‘omong-kosong’; komedi (toneel).

Di tahun 1918 hingga 1920, radikalisme kaum buruh meningkat mencari jalan keluar atas merosotnya kehidupan mereka. Pemogokan meledak di mana-mana. Hindia-Belanda memasuki ‘zaman mogok’. Di saat itulah SI Semarang tampil memimpin. Salah satu pemogokan yang paling sukses dipimpin SI Semarang adalah pemogokan pabrik perabotan yang punya 300-an pekerja.

Semaoen sadar, kunci gerakan buruh ada pada persatuan. Makanya, di Semarang, ia berjuang keras mendorong penyatuan gerakan buruh. Usahanya menemui hasil: berdirilah Persatuan Kaum Buruh Semarang. Di level nasional, pada Desember 1919, Semaoen atas nama SI Semarang mendorong penyatuan melalui wadah bernama Revolusionere Socialistisct Vakcentrale. Sayang, proposal Semaoen mendapat perlawanan dari tokoh konservatis SI, Soerjopranoto dan Haji Agus Salim. Kendati demikian, ide persatuan buruh yang diusulkan oleh Semaoen tetap diterima, kendati namanya ditolak. Lahirlah Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB), yang menghimpun 22 serikat buruh: PFB (32.000 anggota), VSTP (11.000 anggota), PPPB (5500), dan lain-lain. Semaoen menjadi pimpinan dari Federasi ini.

Yang patut dicatat, Semaoen punya kontribusi besar dalam mengakhiri ‘permusuhan’ SI dengan pedagang Tionghoa. Bagi Semaoen, permusuhan dengan Tionghoa tidak ada gunanya, karena musuh SI adalah kapitalisme.

Di tahun 1919, Semaoen ditahan karena tuduhan persdelict. Ia dipenjara selama 4 bulan. Selama di penjara itulah ia menulis novel berjudul “Hikayat Kadiroen”. Novel ini menceritakan seorang priayi rendah, Kadiroen, yang awalnya menjadi mantri polisi kemudian pejabat kolonial, tetapi sangat bersimpati pada pergerakan rakyat. Akhirnya, setelah membantu diam-diam gerakan rakyat dengan uang dan artikel, Kadiroen meninggalkan jabatannya dan bergabung dengan gerakan rakyat.

Memimpin Partai

Sejak 1918, ISDV mengambil haluan radikal-revolusioner. Orang-orang moderat, termasuk di kalangan eropa, mulai meninggalkan partai ini. Sebaliknya, orang-orang radikal dari kalangan pribumi makin banyak yang bergabung. Terjadilah proses ‘Indonesianisasi’ di tubuh ISDV.

Pada bulan Mei 1920, ISDV menggelar Kongres Istimewa. Ada 40-an peserta yang hadir. Kongres ini mengubah nama partai dari ISDV menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH). Selain itu, kongres ini juga mengangkat Semaoen sebagai Ketua; Darsono sebagai Wakil Ketua; dan Bergsma sebagai Sekretaris.
Tahun-tahun pertama Semaon memimpin partainya ditandai dua kondisi yang tidak menguntungkan: pertama, datangnya “masa reaksi” dari pemerintah kolonial, dan kedua, menajamnya persaingan dan perselisihan antara SI merah/PKI dengan SI putih.

Pada tahun 1920, untuk menjawab keresahan buruh pabrik gula, PFB merancang pemogokan. Semaoen dan PKI kurang mendukung pemogokan tersebut karena kurangnya persiapan dan berpotensi menemui kegagalan. Perkiraan Semaoen terbukti. Tuntutan PFB ditolak oleh para sindikat gula. Akibatnya, demoralisasi besar-besaran merontokkan basis PFB.

Di tahun 1920, Semaoen menerbitkan risalahnya yang terkenal, Penuntun Kaum Buruh. Risalah ini berisi panduan membangun dan mengorganisasikan serikat buruh. Juga menjelaskan soal politik yang berguna bagi serikat buruh.

Namun, rupanya, bencana itu digunakan oleh kelompok konservatif SI, yakni Suryopranoto dan Agus Salim, untuk mendengunkan isu “pendisiplinan partai” guna menyingkirkan SI Semarang dan orang-orang komunis di tubuh SI.

Situasi ini makin diperkeruh dengan adanya serangan Darsono, pimpinan PKI/SI Semarang, terhadap pemimpin tertinggi Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto. Ia menyingkap penyalah-gunan uang oleh orang nomor satu di SI tersebut. Namun, terlepas dari niat-baiknya, serangan Darsono ini dimanfaatkan oleh faksi konservatif SI, yang kebetulan berhimpun di Jogjakarta, untuk menyerang balik SI Semarang dan memperkuat hembusan isu “disiplin partai”.

Perpecahan itu merembet juga ke Federasi Buruh, PPKB, yang melibatkan serikat-serikat buruh komunis/SI semarang dan SI-konservatif. Kelompok SI konservatif berhasil menendang Semaoen dan Bergsma dari kepengurusan PPKB. Akhirnya, sebagai bentuk antitesanya, Semaoen mendirikan federasi baru: Revolutionare Vakcentrale (RCV).

Pada Oktober 1921, Semaoen meninggalkan Hindia-Belanda. Ia bertolak ke Uni Soviet. Dia menghadiri sejumlah pertemuan di sana. Bahkan, sebagaimana diceritakan Ruth McVey di Kemunculan Komunisme Indonesia, Semaoen sempat bertemu dan ngobrol-ngobrol dengan Lenin.

Semaoen menceritakan, pemimpin Bolshevik itu mengajaknya mendiskusikan gerakan revolusioner di negara jajahan, termasuk Hindia-Belanda, tidak harus meniru semua pola Revolusi Rusia. Menurut Lenin, taktik partai komunis Rusia tidak dapat ditiru begitu saja oleh partai-partai di Asia karena adanya berbagai kondisi yang sama sekali berbeda.

Pada bulan Mei 1922, Semaoen kembali ke Hindia-Belanda. Saat ia kembali, VSTP dalam kemunduran. Anggotanya menurun dari 16.975 orang pada Oktober 1921 menjadi 7.731 orang pada Mei 1922. Karenanya, program pertama Semaoen adalah memulihkan kekuatan VSTP. Ia dan pimpinan VSTP melalui tur propaganda keliling Jawa untuk mengkonsolidasikan kembali VSTP. Dan usaha Semaoen ini tidak sia-sia: dalam beberapa bulan, VSTP berhasil kembali dikonsolidasikan.

Tak hanya itu, seiring dengan ancaman depresi ekonomi dan program rasionalisasi pemerintahan Dirk Fock, gerakan buruh menguat kembali. Sejumlah serikat buruh yang sebelumnya dikontrol oleh SI Putih, seperti Sarekat Postel dan FPB, bergeser ke bawah kontrol PKI/VSTP.

Sementara perpecahan SI-PKI makin menajam di tahun 1923. Kongres SI di Madiun, pada Februari 1923, terang-terangan menutup pintu kerjasama dengan PKI. Menanggapi kongres itu, pada bulan Maret 1923, PKI-SI merah juga menyelenggarakan kongres di Bandung. Menurut Ruth McVey, kongres ini mengubah strategi PKI dalam gerakan massa: PKI tidak lagi bertindak sebagai sebuah blok di dalam sebuah organisasi massa, melainkan sebagai entitas tersendiri atas nama PKI.

Tak lama setelah kongres itu, PKI menerima hantaman hebat. Sejak awal 1923, kebijakan Gubernur Jenderal Fock sangat menggelisahkan para pekerja kereta api. Negosiasi antara VSTP dengan pemerintah dan perusahaan swasta kereta api menemui jalan buntu. Akhirnya, seolah terdesak pada pilihan terakhir, VSTP menyiapkan pemogokan umum. Seturut kemudian, Semaoen menyerukan kepada semua cabang/afdeling VSTP untuk menyiapkan pemogokan.

Tanggal 8 Mei 1923, sehari sebelum pemogokan, Semaoen ditangkap. Ia dianggap sebagai ‘penghasut’ pemogokan. Kendati demikian, pemogokan VSTP tetap berjalan, dengan melibatkan puluhan ribu buruh di Semarang, Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Pekalongan, Tegal, dan Cirebon. Pemerintah merespon pemogokan itu dengan pemecatan massal dan pengiriman tentara. Pada tanggal 22 Mei 1923, VSTP menghentikan pemogokan dengan kekalahan besar. Anggotanya merosot dari 13.000 orang menjadi tinggal 1000-an orang pasca pemogokan.

Kekalahan pemogokan itu juga berujung pada pembuangan Semaoen pada awal Agustus 1923. Saat itu, Semaoen baru berusia 24 tahun. Ia dipaksa meninggalkan gelanggang perjuangan rakyat di negerinya.
Tiga tahun setelah kepergiannya, PKI melancarkan pemberontakan anti-kolonial di pulau Jawa dan Sumatera. Dalam waktu singkat, pemberontakan itu berhasil ditindas oleh penguasa kolonial.

Hidup Di Pembuangan

Pembuangan tak menghentikan aktivitas politik Semaoen. Di eropa, tepatnya di Belanda, Semaoen tetap menggalang perlawanan. Ia menghimpun pelaut-pelaut Indonesia ke dalam wadah bernama Serikat Pegawai Laut Indonesia (SPLI). Ia juga menerbitkan koran propaganda bernama Pandoe Merah.

Di Belanda, Semaoen juga menjalin kontak dengan mahasiswa Indonesia di Belanda, terutama Perhimpunan Indonesia (PI). Ia bertemu beberapa kali dengan Mohammad Hatta, salah seorang tokoh PI.
Pada bulan Desember 1926, setelah mendengarkan kegagalan pemberontakan PKI di Hindia-Belanda, Semaoen membuat kesepakatan kontroversial dengan Hatta. Dalam persetujuan itu disebutkan bahwa PKI—yang diwakili oleh Semaoen—menyerahkan kepemimpinan gerakan pembebasan nasional Indonesia kepada Perhimpunan Indonesia. Tak hanya itu, persetujuan itu juga menyatakan PKI dan ormasnya tidak akan melakukan oposisi terhadap kepemimpinan PI.

Kesepakatan Semaoen-Hatta ini menuai kecaman Hatta. Komunis Internasional (Komintern) menilai tindakan Semaoen itu sebagai bentuk subordinasi PKI di bawah ketiak gerakan nasionalis. Tak hanya itu, PKI kehilangan independensinya sebagai partai yang mewakili kepentingan buruh dan petani. Tindakan Semaoen juga dikecam oleh kawan-kawannya di PKI. Akhirnya, karena kecaman tersebut, pada Desember 1927, Semaoen membuat klarifikasi yang berisi pengakuan atas kesalahannya menandatangani kesepakatan tersebut.

Pada Desember 1927, Semaoen mewakili PKI/Sarekat Rakyat dalam pertemuan Liga Anti-Imperialisme di Brussel, Belgia. Di sana ia menyampaikan pidato atas nama PKI. Setelah itu, Semaoen pindah ke Uni Soviet. Di sana ia tinggal lebih dari 30-tahun. Alhasil, Semaoen tidak sempat merasakan udara saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945.

Di Soviet, Semaoen menjadi pengajar bahasa Indonesia. Untuk itu, ia menyusun bahan pelajaran Bahasa Indonesia untuk pelajar-pelajar Soviet. Karya Semaoen ini menjadi buku pelajaran Bahasa Indonesia pertama untuk pelajar Soviet. Selain itu, Semaoen juga bekerja untuk siaran bahasa Indonesia di Radio Moskow. Semaoen ditunjuk oleh Stalin memimpin Badan Perencanaan Negara (Gozplan) di Tajikistan.
Diceritakan, pada tahun 1943, Semaoen berusaha kembali ke Indonesia. Sayang, ketika sedang berada di Teheran, Iran, sebelum menuju ke Indonesia, dia ditangkap oleh kontra-spionase Inggris dan diserahkan ke perwakilan tentara Soviet. Ia pun kembali ke Moskow.

Namun, harapan Semaoen kembali ke Indonesia terbuka lebar setelah kunjungan Soekarno ke negeri beruang merah itu. Semaoen meminta bantuan Soekarno agar meminta Soviet memulangkannya. Soekarno kemudian menyetujui dan meneruskan permintaan itu ke pimpinan Partai Komunis Uni Soviet. Permintaan Semaoen dikabulkan.

Namun, versi lain menyebutkan, kepulangan Semaoen ke Indonesia atas inisiatif Iwa Kusumasumantri. Semaoen tiba di Indonesia tahun 1953. Saat itu, PKI—partai yang pernah didirikannya—berada di bawah kendali orang-orang muda: Aidit, Njoto, MH Lukman, dan lain-lain.

Di Indonesia, Semaoen sempat menduduki jabatan Wakil Ketua Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (yang diketuai oleh Hamengkubuwono IX). Selain itu, Ia juga mendapat gelar Doktor Honoris Causa (HC) dalam Ilmu Ekonomi di Universitas Padjajaran (Unpad). Saat itu Semaoen menelurkan risalah berjudul “Tenaga Manusia: Postulat Teori Ekonomi Terpimpin,” tahun 1961. Semaoen wafat di tahun 1971.

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

PKI dan Komite Haji

Bicara penyelenggaraan ibadah Haji, mungkin ingatan kita tidak pernah memberi tempat kepada sebuah partai yang kerap dicap atheis: Partai Komunis Indonesia (PKI).  


Siapa sangka, pada tahun 1921, partai berlambang palu arit ini punya jasa dalam penyelenggaraan ibadah haji. Saat itu PKI bersama Sarekat Islam (SI) afdeling Semarang membentuk Komite Haji. Tujuan komite ini jelas: mengubah peraturan kolonial terkait haji yang memberatkan ataupun bertentangan dengan hukum islam.

Untuk diketahui, sejak 1825, pemerintah kolonial Belanda mulai membuat aturan soal ibadah Haji. Saat itu setiap orang yang mau naik haji harus punya surat jalan. Dan untuk mendapat surat jalan, calon jemaah haji harus membayar 110 gulden. Namun, pada tahun 1852, kebijakan itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi di Batavia.

Kemudian, pada tahun 1859, keluar lagi aturan baru yang mewajibkan calon jemaah haji untuk punya biaya tiket pulang-pergi dan biaya untuk keluarga yang ditinggalkan. Setelah itu, sepulangnya mereka ke tanah air diharuskan mengikuti sejumlah ujian. Hanya mereka yang lolos uji yang dibolehkan memakai gelar Haji dan mengenakan pakian Haji. Repot kan?

Namun, sesungguhnya, semua aturan itu hanyalah kedok pemerintah kolonial untuk mengontrol ibadah Haji. Mereka sangat khawatir, mereka yang menunaikan ibadah haji terjangkiti virus pemikiran radikal, khususnya Pan-Islamisme, dan kemudian menyebarkannya ketika kembali ke tanah air.

Disamping itu, perlakuan yang diterima jemaah haji juga terkadang tidak manusiawi. Misalnya, antara tahun 1911 hingga 1933, pulau Onrust yang terletak di Kepulauan Seribu dijadikan tempat karantina calon jemaah haji. Seperti ditutukan Alwi Shahab, sejarawan Betawi, dengan dalih kesehatan, calon jemaah haji diperiksa dalam keadaan telanjang. Perlakuan itu membuat para ulama sangat berang.

Singkat cerita, karena banyaknya aturan kolonial yang merintangi ibadah Haji, PKI pun turun tangan. Komite Haji bentukan PKI menemui Gubernur Jenderal. Dan ternyata, usaha Komite Haji membuahkan hasil: pemerintah kolonial bersedia mengubah sebagian aturan Haji yang memberatkan itu.

Nah, yang patut diketahui, siapakah dalang di balik Komite Haji ini? Berbagai sumber menyebut nama tokoh komunis kelahiran Sumatera Barat: Tan Malaka. Dialah yang punya inisiatif untuk mendorong PKI membentuk Komite Haji.

Tan Malaka bergabung dengan PKI di tahun 1921. Saat itu dia diorganisasikan di PKI Semarang. Kendati baru bergabung, Tan membuat banyak gebrakan. Salah satunya adalah pendirian  SI school atau Sekolahan SI Semarang. Di sekolah rakyat gratis itu Tan menjadi pengajarnya.

Dalam soal pandangan politik, Tan membela politik kerjasama antara komunis dan Islam. Menurut dia, komunisme adalah sekutu alami kaum islamis dalam melawan imperialisme. Dia merujuk pada aliansi kaum Bolshevik dengan kaum muslimin di Kaukasus, Persia, Afghanistan, dan Bukhara.

Dan memang, sejak 1916, kaum komunis—yang tergabung dalam Indische Sociaal Democratische Vereniging/Perkumpulan Sosial-Demokratis Indonesia (ISDV)—bekerjasama sangat rapat dengan Sarekat Islam (SI).

Sayang, di tahun 1920, kerjasama itu mulai memudar. Kelompok putih di tubuh SI mulai berkoar tentang bahaya komunisme. Mereka juga menuding kaum komunis hendak memerangi gerakan Pan-Islamisme. Lebih parah lagi, ada tuduhan bahwa komunis tidak percaya Tuhan.

Tuduhan-tuduhan itu banyak yang tidak tepat. Sebagai misal, ketika dianggap anti-Tuhan, banyak kader PKI justru berasal dari golongan Haji. Sebut saja diantaranya: Haji Misbach (Surakarta), Haji Datuk Batuah (Sumatera Barat), dan Kiai Haji Achmad Chatib (Banten).

Namun demikian, arah perpecahan tidak terhindarkan. Pada Kongres SI di Surabaya, tahun 1921, proposal “Disiplin Partai” disetujui. Keanggotaan rangkap di SI dilarang. Dengan demikian, orang-orang PKI ditendang keluar dari SI.

Tan Malaka tidak setuju. Dia bilang, “kalau perbedaan Islamisme dan Komunisme kita perdalam dan lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan rakyat Indonesia.”

Begitulah. Mungkin ada orang PKI yang atheis, tapi tidak sedikit juga yang beragama. Sayang, sejarah yang ditulis penguasa Orde Baru sudah menjatuhkan vonisnya: komunisme anti-agama. Ironisnya, karena sejarah palsu itu, kita malas membuka lembar-lembar sejarah yang memperlihatkan kedekatan kaum komunis dan islamis dalam memerangi kolonialisme.

Mahesa Danu

"Bandit Merah" Yang Di Cintai Rakyat

CPC
Sebuah pertemuan besar digelar oleh para pemuka rakyat Zhongdian, sebuah kota kecil di provinsi Yunnan, Tiongkok. Itulah pertemuan Chunyun, sebuah pertemuan wakil-wakil warga dari berbagai profesi, suku, dan agama. Pertemuan itu hanya membahas satu agenda: bagaimana respon rakyat Zhongdian terhadap kedatangan “bandit merah”.

Bandit merah adalah sebutan pejabat Koumintang, partai berkuasa di Tiongkok saat itu, terhadap tentara merah atau Tentara Pembebasan Rakyat (TPR). TPR sendiri adalah angkatan bersenjata partai komunis, yang sebagian besar anggotanya adalah kaum buruh dan kaum tani.

Zhongdian sendiri merupakan daerah otonom yang dipimpin oleh seorang Tusi atau kepala klan. Tetapi, sekalipun otonom, pemerintah nasional Koumintang menunjuk seorang pejabat Walikota di daerah Zhongdian ini.

Pejabat Koumintang sangat aktif berkampanye negatif tentang tentara merah: suka merampok, suka membunuh, mengambil istri-istri orang, merebut tanah-tanah pemuka masyarakat, tidak punya agama apalagi tuhan dan lain-lain. Pendek kata, bagi Koumintang, tentara merah adalah iblis yang tidak boleh diampuni.
Tetapi, propaganda busuk itu ternyata tidak mempan. Kebaikan dan nama baik tentara merah, sebagai tentara yang sangat disiplin dan mencintai rakyat, segera tersebar ke berbagai desa dan suku di Zhongdian.
Surat seorang kepala suku kepada pertemuan Chunyun menceritakan tentara merah sebagai berikut: “mereka sangat sopan dan ramah kepada rakyat, jual-beli harus adil, pinjam barang harus dikembalikan, merusak barang orang lain harus diganti, tetap berlaku adil terhadap tawanan.”

Pertemuan Chunyun pun memutuskan bahwa rakyat Zhongdian tidak akan menghalau tentara merah dan membiarkan tentara merah melalui kota mereka.

>>>
Kisah di atas adalah sebuah potongan dari film drama berjudul “Shangri-la”. Shangri-la sendiri adalah nama kota Zhongdian saat ini. Film drama karya Jiang Jia Jun ini sebetulnya berkisah tentang seorang pemuda, Zhaxi (Hu Gue), yang rela menjadi perampok demi mencari pelaku pembunuh ibunya. Dalam film itu, Zhaxi secara kebetulan membantu tentara merah, bahkan sempat ditawari bergabung di pasukan kebanggan partai komunis tiongkok itu.

Setting film ini adalah tahun 1936, hanya beberapa tahun menjelang invasi Jepang ke Tiongkok.
Kisah tentara merah sendiri hanya merupakan fragmen-fragmen kecil. Tetapi, sekalipun begitu, Jiang jia Jun berhasil menggambarkan betapa tidak bergunanya propaganda Koumintang untuk memisahkan tentara merah dan rakyat.

Ada dua hal menurut saya yang membuat tentara merah sukses mematahkan kampanye negatif Koumintang itu:

Pertama, keberhasilan tentara merah menciptakan semacam kekuatan magis satu jenis tentara baru, yaitu tentara rakyat, dengan kedisiplinan dan moralitasnya yang kuat, sanggup menarik kekaguman massa rakyat. Bahkan, karena begitu termashurnya kebaikan tentara merah itu, daerah-daerah yang belum dikunjungi tentara merah pun sudah membicarakan kebaikan-kebaikannya.

Drama “Shangri-la” sangat kuat menonjolkan hal itu. Tetapi, beberapa penulis tentang partai komunis dan revolusi Tiongkok juga pernah menunjukkan itu. Edgar Snow, misalnya, yang menulis buku “Red Star Over China”, juga memperlihatkan kekagumannya dengan disiplin dan moral tentara merah.

Kedua, sekalipun menganut marxisme, sebuah teori yang didatangkan dari Eropa, tetapi para kader komunis Tiongkok sangat menghargai tradisi-tradisi agama maupun kepercayaan leluhur masyarakat setempat.
Kader-kader komunis itu dengan piawainya menceburkan diri dalam faktor-faktor etno-kultural masyarakat, sehingga mereka gampang diterima dan diberi kesempatan menyiarkan pandangannya.

Dalam film itu digambarkan bagaimana anggota tentara merah yang dikejar Koumintang mendapat perlindungan dari pemimpin Katolik dan Budha. Pelajaran penting lainnya yang ditonjolkan oleh film Shangri-la ini adalah bagaimana orang-orang Tiongkok, khususnya di Zhongdian, yang masyarakatnya sangat beragam (agama, suku, dan ideologi), bisa membangun front persatuan yang kuat melawan invasi Jepang.
Zhaxi, yang diujung cerita diangkat sebagai kepala klan, berhasil membentuk sebuah milisi rakyat yang menggabungkan para Koumintang, tentara merah, suku-suku Tibet, perampok, orang-orang islam, dan lain sebagainya.

Ya, mungkin karena ini adalah sebuah film, sehingga kita nyaris tak melihat cacat di dalamnya. Tapi, terlepas dari semua itu, keberhasilan Tiongkok untuk berderap maju di tengah banyaknya terpaan badai telah membuktikan, bahwa bangsa ini sudah lama ditempa dan tidak mudah untuk retak.

Kusno, penikmat film dan anggota redaksi Berdikari Online

Majalah 'Bintang Merah'



Bintang-merah-tiga
Majalah Bintang Merah pertama kali terbit November 1945. Rosihan Anwar dalam bukunya, Napak Tilas ke Belanda, menyebut majalah Bintang Merah terbit pada 17 November 1945.

Sejak terbit, Bintang Merah sudah diposisikan sebagai jurnal teori. Majalah ini langsung dikontrol oleh departemen agitasi dan propaganda PKI. Aidit, yang saat itu ditempatkan di Agitprop partai, sempat menjadi salah satu nahkoda majalah ini.
Majalah yang mengusung slogan “Mingguan untuk Demokrasi Rakjat” terbit sekali dalam dua bulan. Selain Aidit, Lukman dan Njoto, yang saat itu juga sudah di Jogjakarta, juga terlibat di majalah ini.

Pada September 1948, terjadi “provokasi Madiun”. Sayap kanan segera menuding PKI melancarkan ‘pemberontakan’ di Madiun, Jawa Timur. Itulah yang menjadi dalih untuk membersihkan PKI dan kaum merah lainnya. Bintang Merah juga terkena imbasnya.

Pada tahun 1950-an, Aidit dan Lukman menghidupkan kembali Bintang Merah. Majalah itu resmi diluncurkan pada 15 Agustus 1950. Duduk dalam susunan dewan redaksi, antara lain: Aidit, Njoto, Lukman, dan Peris Pardede. Kantor redaksi menumpang di kediaman Peris Pardede di Jalan Kernolong 4 Jakarta.
Trikoyo Ramidjo, yang terlibat penerbitan Bintang Merah, menuturkan, tempat redaksi Bintang Merah itu sekaligus kantor CC PKI. Lalu, beberapa saat kemudian, kantor CC PKI dipindahkan ke gang Lontar.
“Dulunya ukurannya besar, tetapi kemudian diperkecil agar bisa masuk ke saku. Tetapi namanya tetap Bintang Merah,” kata Trikoyo. Bintang Merah diproduksi hingga 10.000 eksemplar. Majalah ini distribusikan ke seluruh Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Penerbitan Bintang Merah tidak gampang. “Kita setengah mati kumpulkan duit. Itu dipakai untuk mengurus surat ijin penerbitan kertas. Sebab, tanpa surat itu, orang tidak bisa menerbitkan koran,” kenang Trikoyo.
Yang paling banyak menulis adalah tiga serangkai: Aidit, Njoto, dan Lukman. Sebagai jurnal teori, para penulis memang diharuskan adalah orang-orang yang memahami marxisme dengan baik.

Bintang Merah sering mengangkat soal Marxisme-Leninisme. Spesialis penulis di bagian ini adalah Aidit. Selain itu, edisi-edisi awal Bintang Merah banyak diwarnai artikel polemik dan penegasan posisi politik.
Edisi No.12-13 tahun 1951, misalnya, mengulas secara khusus mengenai sikap politik PKI terkait ‘peristiwa Madiun’. Seorang bernama Mirajadi menulis artikel berjudul “Tiga Tahun Provokasi Madiun”. Bagi PKI, provokasi Madiun merupakan buah dari pertemuan Sarangan, pada 12 Juli 1948, yang memutuskan apa yang disebut “red-drive proposal” atau pembasmian kaum merah.

Selain soal Madiun, Bintang Merah juga banyak menghajar penyimpangan-penyimpangan marxisme, khususnya Tan Malaka. Bintang Merah tahun ke-VI No.7, 15 November 1950 hlm. 206-208, misalnya, ada tulisan MH Lukman berjudul “Tan Malaka Penghianat Marxisme Leninisme”. Di situ, MH Lukman ‘menghabisi’ posisi teoritik Tan Malaka.

Serangan juga diarahkan kepada Hatta. Di Bintang Merah vol.7 nomor 1-2, Njoto menulis artikel berjudul “Pemalsuan Marxisme”, yang memblejeti pandangan Hatta tentang komunisme.Di harian Sin Po 3 tahun 1950 Hatta menulis: “Apa bedanja antara saja dan seorang komunis? Bedanja jalah melainkan halnja saja masih memegang teguh igama dan seorang komunis tidak mau tahu igama. Lain dari dalam hal igama, tidak bedanja antara saja dan seorang komunis.” Njoto membantah argumentasi itu. Di bidang ekonomi, katanya, Hatta setuju dengan pembangunan ekonomi sosialis, tetapi menolak nasionalisasi.

Bintang Merah memang banyak memainkan peran sebagai konsolidasi ide-ide marxisme. Dengan demikian, setelah orang-orang itu relatif sama dalam ide (marxisme-leninisme), maka pembangunan (reorganisasi) partai menjadi gampang. Setelah terbit beberapa edisi, akhirnya muncul keinginan untuk membangun kembali PKI. Orang-orang PKI lama pun dikumpulkan. Beberapa ditugasi membangun onder seksi commite sebagai syarat pembentukan seksi komite. “Kita bikin onder seksi komite di Senen dan Salemba dulu. Kita juga sengaja mencari orang Jakarta asli,” kata Trikoyo.

Pada bulan November 1950, ada peringatan peristiwa “12 November 1926” (Pemberontakan PKI terhadap kolonialisme Belanda). Diputuskan untuk menggelar rapat umum di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Njoto pidato singkat di rapat akbar itu. Inti pidatonya berusaha membangkitkan kembali semangat orang-orang PKI lama untuk membangun partai. Usai pidato, seperti diceritakan Trikoyo, panitia menyediakan formulir anggota.

Pada 7 Januari 1951, Komite Sentral (CC) dan Politbiro terbentuk. Anggotanya terdiri dari: Aidit, Lukman, Nyoto, Sudisman, dan Alimin. Belakangan Alimin mundur dan digantikan oleh Sakirman.
Bintang Merah punya jasa besar dalam membentuk dan membangun kembali PKI. Hal ini diakui pimpinan PKI sebagaimana tertulis di Bintang Merah, edisi 1-2 Djanuari 1951: “Bintang Merah kita memberikan sinar tjemerlang menerangi djalan jang harus ditempuh oleh anggota Partai dan kaum buruh jang sedar akan klasnja. Demikianlah tidak bisa diungkiri lagi, bahwa tersusunnja kembali organisasi-organisasi Partai di-daerah-daerah adalah sebagian besar atas dorongan dan pimpinan BintangMerah kita. Ketjuali itu, bersamaan dengan memberikan dorongan dan pimpinan dalam menjusun kembali organisasi-organisasi Partai didaerah-daerah Bintang Merah kita sekaligus memberikan dasar dan pimpinan untuk memakai sendjata kritik dan self-kritik… ”

KUSNO

Maaf, Sarwo Edhi Bukan Pahlawan Bangsa

Sarwo.jpg
Tanggal 10 November lalu, Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo menyampaikan ke media massa, bahwa Presiden SBY sudah menyetujui usulan pengangkatan Letnan Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo sebagai Pahlawan Nasional.

Kabar tersebut kontan menuai badai protes. Soe Tjen Marching, seorang warga Indonesia di London, Inggris, menggalang petisi online untuk membatalkan pemberian gelar pahlawan kepada Sarwo Edhie. Hingga 19 Oktober 2013, petisi itu sudah didukung oleh 5.282 orang.

Alasan penolakan pun cukup beragam. Sebagian besar menganganggap Sarwo Edhie bertanggung-jawab atas pembantaian massal pasca peristiwa G30S/1965. Sementara yang lain menganggap keputusan Presiden SBY menyetujui pengangkatan Sarwo Edhie sebagai pahlawan sangat berbau nepotisme. Maklum, Sarwo Edhie adalah mertua Presiden SBY.

Alasan yang belakangan ini juga ada benarnya. Kalau mau jujur melihat sejarah, peranan Sarwo Edhie dalam panggung perjuangan bangsa nyaris tidak terlihat. Dia bukan tokoh yang berjibaku dalam perjuangan anti-kolonial dan pendirian Republik. Namanya juga tidak pernah didengunkan saat perjuangan bersenjata melawan kolonialisme Belanda antara tahun 1945-1949.

Sementara banyak tokoh yang terang-terangan berkontribusi besar bagi perjuangan anti-kolonial dan berdirinya Republik Indonesia, seperti Tan Malaka dan Mr. Amir Sjarifoeddin, belum diangkat sebagai pahlawan. Tan Malaka adalah pejuang anti-kolonial sejak tahun 1920-an. Dia juga adalah pengagas pertama Republik Indonesia melalui risalahnya Naar de Republiek Indonesia (1925).

Begitupula dengan Mr. Amir Sjarifoeddin. Dia berjasa besar dalam mengorganisir Kongres Pemuda tahun 1928. Dia juga aktif dalam gerakan anti-kolonial melalui Gerindo. Di jaman fasisme Jepang, dia memimpin perjuangan bawah tanah. Pasca kemerdekaan, Amir sempat menjabat Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan, dan Perdana Menteri Republik Indonesia.

Nama Sarwo Edhie baru muncul pasca peristiwa G30S 1965. Saat itu, dia bersama Soeharto tampil sebagai tokoh utama penumpasan G30S. Tak hanya itu, dia pula yang memimpin pembantaian terhadap jutaan orang yang dituding PKI dan simpatisannya. Saat itu dia menjabat Komandan Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).

Namun, setelah Orde Baru runtuh, berbagai fakta mengenai peristiwa G30S 1965 mulai terkuak. Saya kira, kita tidak bisa mengabaikan fakta-fakta baru tersebut. Termasuk arsip-arsip rahasia yang baru dibuka di AS, yang memperlihatkan adanya persekongkolan antara Angkatan Darat/Soeharto dan imperialisme AS untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Karena itu, tugas besar bangsa ini sekarang adalah mendalami temuan-temuan baru tersebut dan berlapang dada untuk melakukan koreksi terhadap sejarah yang sudah ‘dipelintir’ oleh rezim Orde Baru.

Pembantaian Massal

Saya kira, salah satu alasan terkuat untuk menolak pengangkatan Sarwo Edhie sebagai pahlawan adalah peranan aktifnya dalam memimpin pembantaian massal terhadap jutaan orang rakyat Indonesia karena dugaan terlibat sebagai anggota PKI atau simpatisan.

Fakta-fakta mengenai hal tersebut tidak perlu diragukan lagi. Sejarahwan John Roosa, yang tahun 2007 lalu menulis buku berjudul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2007), mengungkap keterlibatan Sarwo Edhie selaku komandan RPKAD dalam pembantaian massal di Jawa Tengah. Menurut John Roosa, dari tanggal 3 Oktober hingga 18 Oktober 1965, keadaan Jawa Tengah tenang-tenang saja. Pembantaian baru dimulai setelah kedatangan RPKAD tanggal 18 Oktober 1965 di Ibukota Jawa Tengah, Semarang.

Sejarawan Baskara T Wardaya, yang mengutip Robert Cribb dalam The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies From Java and Bali (Monash University, 1990), menulis: “..mengapa pembunuhan di Jawa Tengah dimulai pada pekan ketiga Oktober, kemudian di Jawa Timur pada bulan November, lalu Bali pada bulan Desember 1965–semuanya terjadi setelah hadirnya RPKAD yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Sarwo Edhie.”

Malahan, Franz Magnis-Suseno dalam risalah berjudul Indonesia 1965-1966 Dalam Pengalaman Saya menulis: “Di pertengahan Oktober 1965 mulai tahap kedua, tahap paling mengerikan. Di Jogjakarta dan Jawa Tengah pembersihan-pembersihan dilakukan oleh RPKAD, tidak ada pembunuhan dari pihak non-militer.”

Dan faktanya memang begitu. Telegram Kedubes AS di Jakarta ke Kemenlu AS, tanggal 4 November 1965, turut membenarkan hal tersebut. Menurut Telegram tersebut, pasukan RPKAD di daerah komando Jawa Tengah memberikan pelatihan dan senjata kepada para pemuda muslim. Sementara para pemimpin Angkatan Darat menangkapi para pemimpin tingkat atas PKI untuk diinterogasi, yang kelas teri ditangkap, dipenjara, atau dieksekusi secara sistematis. [1]

Jadi jelas, dari ketiga penjelasan di atas, pembantaian massal yang sangat massif di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali terjadi setelah ada dorongan dari pihak militer, yakni RPKAD. Jelas pula bahwa Sarwo Edhie merupakan orang paling bertanggung-jawab karena komando berada di tangan dia selaku Komandan.
Membunuh satu orang saja sudah kejahatan terhadap kemanuisaan. Apalagi, jika membantai jutaan orang. Sila kedua Pancasila jelas-jelas bicara kemanusiaan: peri-kemanusiaan. Kita tentu tidak mau, sejarah mencatat bahwa kita punya pahlawan penjahat kemanusiaan.

Penggulingan Soekarno Dan Keterlibatan AS

Saya kira, tidak ada yang bisa membantah, bahwa ujung dari peristiwa G30S adalah penggulingan pemerintahan Soekarno. Saat itu pemerintahan Soekarno mengambil jalan politik yang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Tentu saja, negara-negara imperialis, terutama AS dan Inggris, sangat tidak senang.
Bradley Simpson, dosen sejarah di Universitas Princeton, Amerika Serikat, telah mengorek-orek arsip-arsip rahasia AS yang baru dibuka ke publik, seperti telegram (rahasia) Kedubes AS, memo sejumlah pejabat AS, kabel infomasi CIA, airgram Kedubes AS, dan lain-lain, dan menemukan fakta mengenai keterlibatan AS memprovokasi terjadinya peristiwa G30S 1965 dan kemudian mengolahnya untuk mendorong peralihan politik di Indonesia.

Dalam makalah Brad Simpson yang berjudul Amerika Serikat dan Dimensi Internasional dari Pembunuhan Massal di Indonesia (2011),  saya menangkap setidaknya ada dua kepentingan besar AS di Indonesia saat itu. Pertama, AS berkepentingan mengubah haluan politik luar negeri Indonesia saat itu, yang terang-terangan anti-kolonialis dan anti-imperialis, agar kembali ke pangkuan barat. Kedua, menjaga kepentingan ekonomi AS melalui perusahaan-perusahaannya yang beroperasi di Indonesia dan, kalau memungkinkan, memperluasnya.

Untuk mencapai dua misi itu, AS punya kepentingan untuk: satu, menghancurkan PKI. Sebab, PKI merupakan kekuatan politik utama yang menentang kepentingan ekonomi-politik AS di Indonesia; dua, menggulingkan Soekarno dan menciptakan rezim baru yang lebih sejalan dengan kepentingan barat.
Dengan demikian, jika kita melihat peran Sarwo Edhie dalam panggung politik di tahun 1965 itu, dia beririsan atau satu perahu dengan kepentingan AS untuk menghabisi PKI, menggulingkan Soekarno, dan menciptakan pemerintahan pro-barat di Indonesia.

Dalam konteks menggulingkan Soekarno, peranan Sarwo Edhie bukan hanya dalam pembantaian massal, tetapi juga dalam menggerakkan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa, yang dibelakangnya ada donatur-donatur dari barat dan Jepang.

Pada tanggal 10 Januari 1966, KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) menggelar Rapat Umum di halaman FK-UI. Rapat umum itu dihadiri oleh Sarwo Edhie dan beberapa staffnya. Rapat itulah yang melahirkan istilah Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat).

Pada kenyataannya, aksi-aksi mahasiswa itu digerakkan oleh militer dan didanai oleh AS dan sekutunya. Maulwi Saelan, seorang ajudan Bung Karno saat itu, dalam bukunya Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 1945 Sampai Kudeta 1966, menulis bahwa jaket yang digunakan oleh mahasiwa/pelajar saat demonstrasi menentang Soekarno adalah pemberian AS.

Selain itu, seperti diungkapkan oleh Professor Aiko Kurasawa, seorang peneliti soal sejarah Indonesia asal Jepang, bahwa Kedubes AS memberikan uang sebesar 50 juta dollar AS kepada Adam Malik. Lalu, Adam Malik menyerahkan uang tersebut ke Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu). Saat itu, KAP Gestapu dipimpin oleh Subchan Z.E. (NU) dan Harry Tjan Silalahi (Katolik).

Tak hanya itu, berdasarkan pengakuan Dewi Soekarno kepada Professor Aiko, pemerintah Jepang juga memberikan sejumlah dana kepada Sofjan Wanandi, yang saat itu menjadi aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), untuk menggoyang pemerintahan Soekarno.

Selain terlibat menggalang aksi-aksi mahasiswa anti-Soekarno, Sarwo Edhie juga bertindak tanpa mematuhi hukum resmi menggerakkan RPKAD untuk menangkapi Menteri-Menteri pro-Soekarno. Termasuk penangkapan Waperdam I, Soebandrio. Tak hanya itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sarwo Edhi mengerahkan RPKAD untuk mengepung istana negara. Beruntung Soekarno berhasil dievakuasi ke Bogor. Tetapi, situasi ini telah dipakai Soeharto dan antek-anteknya untuk menekan Presiden Soekarno agar meneken Surat Perintah 11 Maret 1966. Ini jelas cara-cara barbarian dalam politik.

Pada tahun 1967, Sarwo Edhie dipindahkan ke Sumatera dan menjadi Panglima Kodam di sana. Di sana pun ia melanjutkan proyeknya melemahkan Soekarno dengan melarang keberadaan PNI di daerah tersebut.

Turut Mendirikan Orba

Tak diragukan lagi, Sarwo Edhie berjasa besar dalam mendirikan kediktatoran militer Orba yang berkuasa 32 tahun. Tak hanya membantu Soeharto dalam melibas PKI dan menggulingkan Soekarno, Sarwo Edhie turut menyusun tiang-tiang kekuasan Orba.

Kita tahu, sejarah kelam Indonesia di abad modern dimulai ketika Orde Baru berkuasa. Begitu memegang tampuk kekuasaan, rezim Orba mengundang kembali modal asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia sebebas-bebasnya.

Tak hanya itu, rezim Orba menopang kekuasaannya selama 32 tahun dengan represi, pemberangusan hak berserikat dan menyatakan pendapat, penghancuran partai politik dan organisasi massa, pembungkaman pers, dan lain-lain.

Saya kira, berbagai persoalan besar yang dialami bangsa Indonesia hari ini, seperti hilanganya kedaulatan ekonomi dan politik, maraknya praktek korupsi, dominasi modal asing di segala bidang perekonomian, ketimpangan ekonomi, dan lain-lain, adalah sebagian merupakan warisan rezim Orde Baru.
Rezim Orde Baru, termasuk orang-orang yang menjadi arsiteknya, telah menghianati cita-cita Kemerdekaan. Orde Baru telah mengembalikan Indonesia sebagai budak dari negara-negara imperialis, terutam AS dan negara-negara barat. Kita sekarang kembali menjadi negara jajahan!

Pertanyaannya kemudian, pantaskah seorang penjahat kemanusiaan, yang atas perintah negeri-negeri imperialis, membantai jutaan rakyat Indonesia dijadikan pahlawan? Pantaskah orang yang mengembalikan ‘neokolonialisme’ di bumi Indonesia diangkat sebagai pahlawan? Silahkan dijawab dengan akal sehat.

Timur Subangun, kontributor Berdikari Online
——————————————
[1] Telegram 1326, dari Kedubes AS di Jakarta ke Kemenlu AS, 4 November 1965, POL 23-9 INDON, NA.