Bicara penyelenggaraan ibadah Haji, mungkin ingatan kita
tidak pernah memberi tempat kepada sebuah partai yang kerap dicap
atheis: Partai Komunis Indonesia (PKI).
Siapa sangka, pada tahun 1921, partai berlambang palu arit ini punya
jasa dalam penyelenggaraan ibadah haji. Saat itu PKI bersama Sarekat
Islam (SI) afdeling Semarang membentuk Komite Haji. Tujuan komite ini jelas: mengubah peraturan kolonial terkait haji yang memberatkan ataupun bertentangan dengan hukum islam.
Untuk diketahui, sejak 1825, pemerintah kolonial Belanda mulai
membuat aturan soal ibadah Haji. Saat itu setiap orang yang mau naik
haji harus punya surat jalan. Dan untuk mendapat surat jalan, calon
jemaah haji harus membayar 110 gulden. Namun, pada tahun 1852, kebijakan
itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi di Batavia.
Kemudian, pada tahun 1859, keluar lagi aturan baru yang mewajibkan
calon jemaah haji untuk punya biaya tiket pulang-pergi dan biaya untuk
keluarga yang ditinggalkan. Setelah itu, sepulangnya mereka ke tanah air
diharuskan mengikuti sejumlah ujian. Hanya mereka yang lolos uji yang
dibolehkan memakai gelar Haji dan mengenakan pakian Haji. Repot kan?
Namun, sesungguhnya, semua aturan itu hanyalah kedok pemerintah
kolonial untuk mengontrol ibadah Haji. Mereka sangat khawatir, mereka
yang menunaikan ibadah haji terjangkiti virus pemikiran radikal,
khususnya Pan-Islamisme, dan kemudian menyebarkannya ketika kembali ke
tanah air.
Disamping itu, perlakuan yang diterima jemaah haji juga terkadang
tidak manusiawi. Misalnya, antara tahun 1911 hingga 1933, pulau Onrust
yang terletak di Kepulauan Seribu dijadikan tempat karantina calon
jemaah haji. Seperti ditutukan Alwi Shahab, sejarawan Betawi, dengan
dalih kesehatan, calon jemaah haji diperiksa dalam keadaan telanjang.
Perlakuan itu membuat para ulama sangat berang.
Singkat cerita, karena banyaknya aturan kolonial yang merintangi
ibadah Haji, PKI pun turun tangan. Komite Haji bentukan PKI menemui
Gubernur Jenderal. Dan ternyata, usaha Komite Haji membuahkan hasil:
pemerintah kolonial bersedia mengubah sebagian aturan Haji yang
memberatkan itu.
Nah, yang patut diketahui, siapakah dalang di balik Komite Haji ini?
Berbagai sumber menyebut nama tokoh komunis kelahiran Sumatera Barat:
Tan Malaka. Dialah yang punya inisiatif untuk mendorong PKI membentuk
Komite Haji.
Tan Malaka bergabung dengan PKI di tahun 1921. Saat itu dia
diorganisasikan di PKI Semarang. Kendati baru bergabung, Tan membuat
banyak gebrakan. Salah satunya adalah pendirian SI school atau Sekolahan SI Semarang. Di sekolah rakyat gratis itu Tan menjadi pengajarnya.
Dalam soal pandangan politik, Tan membela politik kerjasama antara
komunis dan Islam. Menurut dia, komunisme adalah sekutu alami kaum
islamis dalam melawan imperialisme. Dia merujuk pada aliansi kaum
Bolshevik dengan kaum muslimin di Kaukasus, Persia, Afghanistan, dan
Bukhara.
Dan memang, sejak 1916, kaum komunis—yang tergabung dalam Indische Sociaal Democratische Vereniging/Perkumpulan Sosial-Demokratis Indonesia (ISDV)—bekerjasama sangat rapat dengan Sarekat Islam (SI).
Sayang, di tahun 1920, kerjasama itu mulai memudar. Kelompok putih di
tubuh SI mulai berkoar tentang bahaya komunisme. Mereka juga menuding
kaum komunis hendak memerangi gerakan Pan-Islamisme. Lebih parah lagi,
ada tuduhan bahwa komunis tidak percaya Tuhan.
Tuduhan-tuduhan itu banyak yang tidak tepat. Sebagai misal, ketika
dianggap anti-Tuhan, banyak kader PKI justru berasal dari golongan Haji.
Sebut saja diantaranya: Haji Misbach (Surakarta), Haji Datuk Batuah
(Sumatera Barat), dan Kiai Haji Achmad Chatib (Banten).
Namun demikian, arah perpecahan tidak terhindarkan. Pada Kongres SI
di Surabaya, tahun 1921, proposal “Disiplin Partai” disetujui.
Keanggotaan rangkap di SI dilarang. Dengan demikian, orang-orang PKI
ditendang keluar dari SI.
Tan Malaka tidak setuju. Dia bilang, “kalau perbedaan Islamisme dan
Komunisme kita perdalam dan lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan
kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan rakyat
Indonesia.”
Begitulah. Mungkin ada orang PKI yang atheis, tapi tidak
sedikit juga yang beragama. Sayang, sejarah yang ditulis penguasa Orde
Baru sudah menjatuhkan vonisnya: komunisme anti-agama. Ironisnya, karena
sejarah palsu itu, kita malas membuka lembar-lembar sejarah yang
memperlihatkan kedekatan kaum komunis dan islamis dalam memerangi
kolonialisme.
Mahesa Danu
Sabtu, 09 Januari 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar