Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih dianggap buruk. Dalam
lima tahun terakhir, tingkat kepercayaan rakyat terhadap DPR tidak
pernah melebihi 30%. Tak hanya itu, DPR juga masih tersandera berbagai
predikat negatif, seperti lembaga terkorup, mafia anggaran, praktek
jual-beli produk legislasi, dan lain-lain. Ketika rakyat merindukan UU
yang membela kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat, eh, anggota
DPR itu malah sibuk mendiskusikan soal santet.
Tak heran, tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu, termasuk memilih
calon anggota DPR, makin menurun. Pada pemilu 1999, karena ada semangat
perubahan yang berkobar-kobar, tingkat partisipasinya masih mencapai
92%. Namun, seiring dengan kegagalan DPR mengartikulasikan kehendak
rakyat, partisipasi rakyat makin merosot dalam dua pemilu terakhir,
yakni 2004 (84 persen) dan 2009 (71 persen).
Memang, kita tidak bisa berharap banyak pada DPR. Maklum, seperti
diungkap oleh desertasi Pramono Anung, motivasi utama orang
berlomba-lomba untuk menjadi anggota DPR adalah kepentingan ekonomi alias mencari nafkah. Para caleg ini menyadari, bahwa posisi sebagai anggota DPR bisa menjadi mesin untuk mendatangkan uang.
Situasi itu diperparah oleh buruknya sistem kepartaian kita. Bagi
mayoritas rakyat, parpol bukan lagi sebagai alat perjuangan politik
untuk memperjuangkan kepentingan umum. Namun, sebaliknya, parpol
dianggap hanya sarana untuk bagi segelintir elit untuk mencapai tujuan
politiknya.
Hal itu berdampak pada perekrutan calon legislatif. Memang,
kelihatannya parpol membuka pendaftaran caleg itu secara terbuka. Namun,
bukan rahasia lagi, bahwa mereka yang akan diusung sebagai caleg
haruslah punya modal besar untuk disetor ke partai bersangkutan dan
untuk mendanai kampanyenya sendiri.
Akhirnya, proses pencalegkan tak ubahnya proses lelang. Siapa yang
sanggup membayar paling mahal, atau mendatangkan manfaat besar bagi
partai bersangkutan, dialah yang akan diusung sebagai caleg. Akibatnya,
kalaupun anda punya kecapakan politik, integritas, dan militansi, tetapi
jika tidak punya modal besar atau popularitas, jangan harap bisa
mengantongi tiket sebagai caleg dari partai besar.
Ini berpengaruh pada kualitas caleg yang turut dalam kontestasi
pemilu. Sebagian besar diantara mereka sangat minim pengetahuan politik,
tidak militan, tidak punya agenda politik yang jelas, dan tidak punya
rekam jejak dalam perjuangan politik. Sudah begitu, supaya bisa meraup
suara, caleg-caleg itu lebih mengandalkan politik uang, menyogok
penyelenggara pemilu, beriklan sebanyak-banyak agar populer, dan
bagi-bagi sembako.
Juga, hampir semua parpol berlomba-lomba merekrut artis sebagai
caleg. Mereka berharap, popularitas artis-artis itu bisa mendongkrak
perolehan suara partai. Mereka tidak pusing, apakah artis tersebut
benar-benar melek politik atau tidak.
Lihat saja di kualitas anggota DPR saat ini: sangat sedikit diantara
mereka yang benar-benar memahami persoalan bangsa. Bahkan tak jarang
terjadi, ketika mereka berbicara ke publik, pernyaan mereka tak
berbobot, tidak sensitif gender, tidak menghargai demokrasi, dan tidak nyambung dengan kehendak rakyat.
Selain itu, karena tidak punya agenda politik yang jelas, anggota DPR
itu tak ubahnya kawanan yang hanya memperjuangkan kepentingan pribadi
atau partai masing-masing. Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu
memperlihatkan, 65,8 persen responden menyatakan bahwa tipe wakil rakyat
yang banyak dihasilkan saat ini adalah yang membela kepentingan diri
sendiri dan partainya.
Inilah tantangan pada Pemilu 2014 mendatang. Seperti kita ketahui,
partai-partai sudah ramai-ramai membuka pendaftaran caleg. Bahkan,
sejumlah parpol sengaja membuat iklan pencalegkan melalui media massa.
Dan, bukan rahasia lagi, faktor uang sangat menentukan dalam proses
penjaringan caleg tersebut.
Parpol seharusnya menjadi pabrik untuk menghasilkan kader politik
yang tangguh, ideologis, dan militan. Sayangnya, hal itu tidak terjadi.
Alih-alih mengusung kader-kader sendiri sebagai kandidat, parpol justru
memanfaatkan momentum pencalegkan sebagai ajang menambah pundi-pundi
partai.
Sabtu, 30 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar