Gabriel García Márquez adalah salah satu penulis Amerika
Latin paling terkenal sepanjang masa. Ia memenangkan penghargaan Nobel
di bidang sastra pada tahun 1982. Dua karyanya yang terkenal, “Seratus
Tahun Kesunyian” (One Hundred Years of Solitude) dan “Cinta Sepanjang Derita Kolera” (Love in the Time of Cholera), melambungkan namanya ke seluruh penjuru dunia.
Marquez lahir di kota Aracataca, Kolombia, tanggal 6 Maret 1927. Masa
kecilnya lebih banyak dihabiskan dengan kakeknya yang suka mendongeng.
Marquez kecil sering menghabiskan waktu mendengar cerita neneknya
mengenai cerita-cerita rakyat dan pejuang-pejuang lokal.
Ia sempat kuliah di Fakultas Hukum di Universitas Cartagena. Saat
itu, April 1948, suhu politik Kolombia memanas. Jorge Eliécer Gaitán,
pemimpin oposisi yang diharapkan membawa Kolombia keluar dari oligarki,
ditembak mati dari jarak dekat. Kejadian itu memicu kemarahan spontan
massa rakyat. Dan Márquez muda menyaksikan kejadian itu.
Ia kemudian memutuskan meninggalkan bangku kuliah dan menjadi wartawan. Ia pernah bekerja di harian terbitan di Cartagena, El Universa. Ia juga tercatat sebagai koresponden asing di Roma, Paris, Barcelona, Caracas, dan New York.
Lalu, ia mulai menulis fiksi. Tak lama kemudian, pada tahun 1967, Gabo—panggilan akrab Márquez—menerbitkan novel “Cien Años de Soledad/Seratus Tahun Kesunyian”.
Novel ini menceritakan tentang tujuh generasi keluarga besar Buendia
dan segala macam hiruk-pikuknya di kota fiksi Macondo. Melalui novel
ini, Márquez berusaha mengajak kita mengenang wabah pes,
pembantaian ribuan orang pekerja di perkebunan pisang, dan musim hujan
yang turun terus menerus selama 4 tahun.
Novel inilah yang, menurut banyak kritikus dan sastrawan, menjadi fondasi gaya realisme magis-nya Gabriel Márquez.
Ia mengaku, novel itu sangat dipengaruhi oleh pengalamannya ketika
masih kanak-kanak dan tinggal di rumah kakeknya. Ia teringat bagaimana
kakeknya seringkali mendongenginya cerita-cerita fantastis dengan gaya
yang dingin. Pada suatu hari, ketika ia dan istrinya beserta
anak-anaknya pergi Acapulco, Ia mendapat wahyu: aku seharusnya
menceritakan sejarah itu, seolah-olah nenekku yang telah menceritakan
sejarahnya, dan dari kepergian sore hari itu, dimana seorang ayah
membawa anak-anaknya, dan mengenal es.
Dalam novel “Seratus Tahun Kesunyian”, Gabriel Márquez seakan
menghadirkan sesuatu yang magis menjadi peristiwa biasa dalam kehidupan
keseharian. Misalnya, tentang si cantik Remedios yang digambarkan
terangkat naik ke atas langit paling tinggi; karakter Melquiades,
seorang gypsi yang datang dari luar Mocondo dan selalu membawa
pengetahuan-pengetahuan baru, bisa hidup kembali.
Realisme magis kemudian tumbuh dan meledak di Amerika latin.
Sastrawan Sihar Ramses menggambarkan realisme magis ala Gabriel Marquez
sebagai berikut: .. memadukan pandangan tokoh, mitologi masyarakat,
menggabungkan cerita magis dengan sejarah sosial yang berlaku. (Rawannya Sejarah di Novel Kita, 3 November 2012, Sinar Harapan)
Franz Roh, seorang sejarahwan Jerman, menyebut ralisme magis sebagai
kemampuan menciptakan makna (magis) dengan membayangkan hal-hal biasa
dengan cara luar biasa. Realisme magis memang akrab dalam cerita-cerita rakyat di Amerika
Latin. Novelis kuba, Alejo Carpentier, dalam novelnya “The Kingdom of
this World”, juga bercerita tentang budak bernama François Mackandal,
yang diceritakan punya kekuatan magis, dalam perjuangannya melawan
dominasi kolonial di Haiti. Mackandal ditangkap oleh penguasa kolonial.
Namun, sebelum dieksekusi di hadapan para budak, ia berubah menjadi
kupu-kupu yang terbang bebas. Inilah yang memicu pemberontakan kaum
budak di Haiti.
Ketika ditanya mengapa Eropa tidak bisa menangkap realisme magis ini, Gabriel Márquez langsung
menjawab, “Ini pasti karena rasionalisme mereka mencegah mereka melihat
realitas yang tidak sebatas pada harga tomat dan telur.”
Namun, terlepas dari perdebatan soal realisme magis itu, gaya Gabriel Márquez ini
sangat cocok dengan konteks masyarakat Amerika Latin. Bukankah sebuah
karya sastra memang harus menjejak ke bumi—kepada akarnya di mana ia
dilahirkan. Nama Gabriel Márquez begitu populer di Amerika Latin. “Dia adalah Don Quixote-nya Amerika Latin,” kata penyair Chile Pablo Neruda.
Di Indonesia, selain karyanya “Seratus Tahun Kesunyian” dan “Cinta
Sepanjang Derita Kolera”, beberapa karya Gabriel García Márquez juga sudah diterjemahkan, seperti “Tumbangnya Seorang Diktator” (El otoño del patriarca), “Selamat Jalan Tuan Presiden” (Bon Voyage, Mr. President), Klandestin di Chile (La Aventura de Miguel Littin, Clandestino in Chile), Sang Jenderal dalam Labirinnya ( El general en su laberinto), dan lain-lain.
Ricky Sukmadinata, Peminat sastra yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/suluh/20130412/sekilas-tentang-realisme-magis-gabriel-garcia-marquez.html#ixzz2QCrKld8Z
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
Kamis, 11 April 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar