Pagi yang indah, kicau burung yang cerewet saling bersahutan tak henti-hentinya. Seluruh makhluk hidup gembira menyambut bagi, senang menyambut matahari dan bersyukur akan kehidupan, sadar maupun tidak sadar. Pagi yang cerah disebuah kampung kecil di Pariaman. Kampung itu sudah lama berdiri, sebuah dusun terpencil diatas bukit. Mereka senang dengan pagi, karena malam tak ada penerangan disana. Listrik belum masuk ke dusun itu.
“Ramli, alah gadang wa’ang ruponyo. Alah bara umur ang kini ko?”[1] ucap seorang kakek yang tak lain adalah kakenya sendiri.
“Umur 19 tahun, Ungku[2]. Tahun ini juga awak[3] kuliah” jelas Ramli.
“Duduak lah siko, aden nak bacarito samo ang.”[4]
“Tapi pakai bahasa Indonesia ya, awak tidak begitu mengerti bahasa Minang.” Sambil senyum malu Ramli membuang mukanya ke arah gelas dan meminumnya meskipun tak haus.
“Baiklah.” Kata Kakek.
Sudah cukuplah umur kamu untuk mendengar cerita ini. Cerita ini tentunya bukan cerita tabu yang selalu ditutupi sewaktu kau sering bertanya dulu. Ini cerita tentang sebuah negeri yang patut kau ketahui. Kau pemuda yang aku harap tumbuh dewasa dan berguna untuk siapa saja yang membutuhkanmu. Terutama kau harus bermanfaat bagi orang banyak.
Dengarkanlah baik–baik, dan jangan dipotong sebelum aku selesai menerangkannya – aku sudah tua, aku takut kehilangan konsentrasi saat kau bertanya – aku takut arah pembicaraanku menjadi tak teratur. Kau mengerti? ini lah ceriteranya. Kelak kau akan mengerti arti ceritaku ini.
Negeri ini kaya raya dan menyimpan banyak kekayaan alam ditanahnya yang subur. Tak sulit menyebutkan namanya, namun begitu banyak alasan mengapa negeri ini tak disebut sejara jujur. Sebut saja negeri ini dengan sebutan “Negeri tak Bertuan”. Secara hakikat begitulah keadaannya. Penduduknya banyak, namun tak mampu berbuat apa–apa.
Tanah yang subur bagaikan primadona yang begitu menggoda hati bangsa–bangsa barat untuk memilikinya. Lautan luas mengelilingi daratan yang terpisah–pisah, beribu–ribu pulau dari yang memiliki nama sampai yang belum bernama.
Inilah adanya, negeri yang kaya dengan mayoritas orang–orang yang kalah. Penduduknya yang lebih lama menjadi budak ketimbang menjadi tuan dirumahnya sendiri. Beratus–ratus tahun diduduki bangsa asing. Pertempuran demi pertempuran, berjuta–juta nyawa melayang. Negeri ini tetap menyisakan sejarah kekalahan rakyatnya.
Dahulu, negeri itu terpecah-pecah sejak kehancuran sebuah kerajaan besar yang menghimpun dan menyatukan negeri. Kalau kau pernah diajarkan gurumu di sekolah tentang kejayaan kerajaan Majapahit tempo hari, mungkin begitu juga lah adanya kerajaan dalam ceritera ku ini.
Negeri dalam ceritera ku ini dahulu terdiri dari beratus-ratus kerajaan, dan hampir kesemuanya bertentangan sengit dengan penjajah --bangsa asing dari benua Eropa yang datang mencari kekayaan, mencari daerah taklukan. Mereka merampok kekayaan alam negeri itu dan menjadikan orang-orangnya sebagai pekerja-pekerja murahan dengan upah yang tak sanggup dicerna akal manusia yang ber-akhlak.
Eropa dahulu kala memang lebih beradab. Mereka berilmu pengetahuan, mempunyai tekhnologi yang canggih, dan mampu berlayar ketempat-tempat yang paling jauh sekalipun hanya untuk mencari daerah taklukan dan kekayaan. Eropa sangatlah miskin akan kekayaan alam. Mungkin karena itu mereka tampil sebagai bangsa yang buas, yang hanya bisa survive dengan cara menindas bangsa-bangsa lain yang lebih lemah.
Negeri itu sangat tidak beruntung. Orang-orangnya tak bisa membaca dan menulis latin, sementara huruf latin di kemudian hari sudah menjadi standard yang dipakai dalam lembaga-lembaga pendidikan.
Lama kelamaan banyak bangsa-bangsa yang melek akan penjajahan. Mereka sadar bahwa mereka hanya dijadikan kuli dinegerinya sendiri. Kesadaran itu tak datang dengan sendirinya. Ilmu pengetahuan yang menjadikan orang-orang paham akan maksud dan tujuan, kebenaran-kebenaran umum, dan hitungan-hitungan ekonomi. Dengan pengetahuan yang ilmiah orang-orang kemudian berhimpun menjadi satu tujuan. Mereka berorganisasi.
Begitu juga yang dialami orang-orang dinegeri itu. Penjajahan bangsa asing lama kelamaan menuai kritik dari bangsa-bangsa yang lebih dulu merdeka dan berdaulat. Penjajah itu kemudian melunak, dan menawarkan konsesi-konsesi berupa janji akan pemberian kemerdekaan dibawah persemakmuran negerinya. Dengan kata lain, bangsa penjajah ingin negeri itu menjadi bonekanya di Asia.
Dia menawarkan pengadaan pendidikan. Tapi kemudian pendidikan yang mereka buat tidaklah berlaku untuk semua orang. Rupanya dia hanyalah sogokan untuk para keluarga raja dan keturunan ningrat untuk membendung perlawanan.
Anak-anak mereka pun berkesempatan mendapatkan pendidikan modern. Bisa baca tulis latin, mengerti hitung-hitungan ekonomi, tata aturan pemerintahan, teori Negara modern dan yang terpenting mereka berhimpun dalam organisasi. Ternyata mereka sadar bahwa perlawanan tak hanya dengan cara kontak fisik semata --adu kekuatan yang pastinya sangat tidak mungkin dimenangkan oleh orang-orang dinegeri itu. Perjuangan idiologis memang harus segera digelorakan.
Mereka membuat partainya sendiri, membuat organisasi-organisasi massa, menghimpun rakyat dalam persatuan dibawah panji-panji perjuangan pembebasan nasional untuk cita-cita kemedekaan. Mereka membuat kongres-kongres dan menghasilkan resolusi-resolusi. Mereka mengobarkan nasionalisme --nasionalisme yang bukan chauvinis--, nasionalisme mereka adalah reaksi dari imperialisme kolonial penjajah.
Barangkali jika ada saluran politik kekuasaan pada waktu itu --katakanlah pemilu--, mereka mungkin telah memenangkan kekuasaan. Tapi itulah zaman pendudukan bangsa lain, tidak ada demokrasi dalam penjajahan. Rakyat pribumi paling jauh hanya dijadikan tenaga tekhnis kantoran saja, itupun sebagai pegawai rendahan.
Dukungan dari rakyat semakin hari semakin bertambah. Dan rasa-rasanya saluran politik itu sangat perlu untuk perjuangan perbaikan kehidupan rakyat. Akan tetapi kran politik tetap juga tidak dibuka. Kemudian mereka memutuskan untuk melakukan pemberontakan yang pertama kali yang hampir serentak dibeberapa daerah.
Pemberontakan cepat ditumpas. Tapi dia memelekkan mata semua orang bahwa dimanapun dan siapapun penjajahnya tetap saja tidak mempunyai niatan baik. Para pemberontak-pemberontak itu dibuang ke sebuah tempat terpencil, barangkali tempatnya hutan belantara, tidak ada penerangan dan tidak ada pertanian. Mereka hidup dengan membuka hutan dan menjadikannya perkampungan, dan bercocok tanam disana untuk bisa bertahan hidup.
Terima kasih dan hormat setinggi-tingginya pada pejuang-pejuang yang bertempur dalam pemberontakan itu. Mereka berhasil meyatukan perjuangan dan memperkaya metode perjuangan. Secara sembunyi-sembunyi, sisa-sisa pejuang itu bekerja kembali menyatukan seluruh kekuatan yang terserak. Bersembunyi didalam organisasi-organisasi yang paling moderat sekalipun, menghimpun kekuatan angkatan bersenjata, membentuk laskar-laskar rakyat dan lain-lain dan lain-lain.
Peran mereka tak banyak diketahui, terutama sejak perubahan haluan negeri itu yang kemudian condong pada pengaruh asing kembali untuk kedua kalinya. Peran mereka sengaja ditutupi dan dihilangkan. Merekalah kemudian yang tetap dianggap sebagai bandit-bandit, domme mensen die vechten nederlanders[5], terutama label mereka tidak perubah –tetap saja dicap sebagai pemberontak- meski negeri itu dikemudian hari telah merdeka dan berdaulat. Sungguh tragis bukan?
Kemerdekaan negeri itu tak terlepas dari jasa para pejuang-pejuang yang hilang dalam catatan sejarah. Mereka lah yang paling bernyali untuk memerdekakan negeri. Mereka juga bukanlah pihak yang berkuasa. Meskipun orang-orang mereka sempat berada dalam posisi penting pemerintahan yang baru merdeka itu.
Uji coba masuknya kembali penjajah tetap diupayakan oleh bangsa-bangsa asing, terutama bangsa-bangsa yang telah merasakan keuntungan selama menduduki negeri itu. Dan selama itu juga negeri itu menutup pintunya. Beruntung negeri itu mempunyai pemimpin yang punya sikap anti terhadap penjajahan. Pimpinannya begitu dicintai rakyatnya.
Dan benar adanya kata seorang kawan lama ku, penjajahan itu terjadi karena ada yang menghendaki di dalam internal bangsanya sendiri. Tak kan mungkin pintu rumah dibuka oleh tuannya jika dia tak menghendaki tamunya berkunjung. Tuan rumah takkan mungkin membiarkan orang–orang berniat jahat mengambil alih rumahnya.
Sebagian Tuan–tuan di negeri ini membukakan pintu rumahnya kembali kepada bangsa–bangsa barat. Terjadi gonjang–ganjing, huru–hara dan perang saudara. Jutaan nyawa rakyat hilang dalam peristiwa yang memilukan.
Kejadian itu terjadi tak lama setelah berakhirnya perang dunia kedua, saat itu banyak negeri yang sibuk menata perekonomiannya yang carut marut.
Namun rupanya perang tetap tidak dihentikan meskipun banyak negeri yang memang sudah tak lagi kontak fisik. Tapi Perang dingin tetap berlanjut, dan menjalar juga ke negeri itu.
Kemelut pun pecah dinegeri ini, tepat 20 tahun setelah kemerdekaannya atas penjajahan bangsa barat. Seperti syair puisi dari Pimpinan Revolusi Rakyat China yang melukiskan kondisi kehancuran dimasa–masa kejayaan;
Di jendela dingin berdiri reranting jarang,
beraneka bunga di depan semarak riang
apa hendak dikata kegembiraan tiada bertahan lama,
di musim semi malah jatuh berguguran
Akhir dari sejarah penentuan, pertentangan yang saling menghabisi, sekuat tenaga bertarung untuk menjadi penguasa–menjadi pemenang- dan dunia telah memperlihatkan kemengan besar yang diraih orang–orang serakah. Ini lah adanya, inilah yang terjadi. Tak perlu disesali dan diratapi. Bukalah mata selebar–lebarnya; kapitalisme sedang berjaya dinegeri ini.
Selamat datang Tuan–tuan modal, ikutlah bersama kami, akan kami tunjukan kepada kalian tempat perjamuan yang agung, megah dan berisikan kenikmatan yang tiada tara. Duduklah dengan manis, kami hanya perlu nasehat–nasehat dan bimbinganmu. Biarlah kami yang bekerja. Kau cukup siapkan segala macam pujian atas kami, biar mata dunia melihat kami dengan benar. Mohon benarkanlah tindakan kami, ini demi masa depan kalian dan kejayaan persekutuan modal dunia. Kami siap menjadi pengawal–pengawal modal yang baik.
Tentu bukan hal yang mudah menjadi penguasa dinegeri ini. Tapi kami menyelesaikannya dengan cara yang baik dan sangat singkat. Siapa pun paling tidak menyukai cara peperangan, begitu juga dengan kami. Tapi dalam judi politik, hal–hal mendesak harus segera diselesaikan. Untuk tujuan kuasa, kami tentu siap dengan cara apa pun. Peperangan? itu kan biasa. Kami sudah sangat terlatih menggunakan senjata–senjata canggih. Bukankah tuan – tuan telah lama mendidik kami ? tuan–tuan telah menanamkan kebencian pada kami, dan kami sangat benci pada pemberontak–pemberontak, meskipun kulit kami sama, mata dan rambut kami sama hitam.
Kami lebih cinta terhadap hal – hal yang bisa kami nikmati. Kami cinta uang dan kekuasaan. Hari–hari kami dibayangi ketakutan masa depan yang suram hidup dinegeri ini. Pimpinannya sibuk saja memprovokasi negeri–negeri lain untuk ikut–ikutan membangun blok–blok politik negeri–negeri terbelakang, yang berarti anti terhadap Tuan–tuan yang kami hormati. Suasana itu sangat tak membuat kami nyaman dan kami sudah terbiasa bersandar pada siapa yang kuat. Benar dan salah itu kan terletak pada sang pemenang. Bukan begitu tua –tuan?
Itulah ceritanya, hingga kami yang sempat tersingkir ini secara bergerilya juga sibuk menarik simpati tuan–tuan politisi. Seseorang yang juga sangat berkuasa akhirnya mendengarkan curahan hati kami, dan mau bekerja sama dengan kami. Rupa–rupanya kami dan orang itu berasal dari didikan yang sama.
Karena itulah, kami berhasil menjadi ksatria–ksatria yang berkedudukan dinegeri ini. Kami lah prajurit–prajurit yang gagah berani, sedangkan yang lain ? prajurit–prajurit gembel itu? mereka sudah dibuang. Lagian, mana sudi kami bekerja sama dengan orang–orang yang tak professional seperti mereka. Makan saja susah, apa lagi bicara soal baca tulis? lupakan lah mereka dan mereka memang pantas untuk dilupakan.
Lihatlah Tuan–tuan dan Nyonya–nyonya yang baik hati, kami telah persiapkan semua persyaratan yang kau minta. Kami buka kan pintu rumah kami selebar–lebarnya untuk kalian masuki sesuka hati kalian. Datang dan pergilah sesukanya. Kami berterima kasih atas kerjasama ini. Musuh kami –atas bantuan dan restu kalian- telah kami habisi dengan gagah berani, bahkan tanpa perlawanan yang berarti.
Inilah prestasi kami yang patut kalian catat, kalian kabarkan kepada negeri–negeri terbelakang, bahwa tindakan yang kita laksanakan sudah tepat. Jika tidak begitu, mustahil kita memenangkan pertarungan di dunia ini. Bertahukan kepada seluruh Tuan–tuan di Asia untuk meniru langkah–langkah kami. Bilang kepada mereka bahwa inilah takdirnya, takkan mungkin adanya kesetaraan. Tuhan telah menakdirkan seseoranag menjadi kaya dan miskin. Tak usah disesali, ini lah takdirnya. Sebarkanlah wejangan itu seluas–luasnya, agar semua orang tahu bahwa melawan takdir itu sama dengan melawan kehendak Tuhan, jika sudah melanggar kehendak Tuhan berarti melawan ajaran Agama, dan hukumannya adalah Mati.
Terimkasih Tuan–tuan, Karena telah mendidik kami dalam memenangkan kekuasaan yang demokratis melalui pemilu. Segala taktik pemenangan kau ajarkan kepada kami, dan kami senang Karena kalian mengabarkan tindakan kami dengan pujian yang teramat besar. Kami semakin yakin dan percaya diri dan lihatlah, tak ada lagi yang berani menentang kami.
Tapi tolong tuan–tuan yang terhormat, sekali lagi tolong !! jangan bicara HAM dinegeri ini. Bicaralah soal HAM dinegeri–negeri yang telah tersebar beritanya dimana–mana sebagai negeri biadab, negeri yang dipimpin para komunis–komunis itu. Kami sudah kadung dikenal sebagai bangsa yang ramah, arif dan bijaksana. Bukankah begitu sikap kami kepada Tuan–tuan? Cukup kabarkan saja prestasi kami. Dengan apa kami mencapainya, tak perlu digembar–gemborkan. Cara yang kami buat cukup kita saja yang tahu.
Baiklah Tuan–tuan pribumi, jika itu mau kalian pasti akan kami penuhi. Kerjasama kita harus menjadi kerjasama seperti ibu dan anak. Karena kami lebih dulu beradab dari tuan–tuan sekalian, maka kami sudah sepantasnya berperan menjadi ibu bagi kalian. Turutilah perintah dan nasehatku agar kelak kalian berhasil. Tak boleh kalian melawan kepadaku, sebab surga kalian terletak ditelapak kaki ku. Mengerti kah kalian wahai anak–anak ku?
Ya ibu, kami mengerti. Anakmu ini akan selalu membahagiakan hatimu, merawatmu dimasa tua, dan selalu menghadiahkan kejutan–kejutan manis untukmu. Setiap hari kami selalu berdoa untuk kepanjangan umur ibu dan kejayaan kita bersama. Kami telah siapkan kado–kado untukmu. Semoga kau senang, ibu.
Sungguh anak yang baik. Tak percuma aku mendidikmu hingga kau tumbuh menjadi orang–orang yang berakal, dan mengabdi kepadaku. Hubungan kita sungguh begitu erat. Apa saja yang kumusuhi wajib juga kalian musuhi. Itulah maknanya pengabdian kepadaku. Aku pasti akan berikan bantuan dan pertolongan kepada kalian. Aku tak meminta apa–apa pada kalian, aku hanya minta hati dan jiwamu untukku.
Segala pertolonganmu, bantuanmu, didikanmu akan kami balas, apapun dan dengan jalan sesulit apa pun akan kami tempuh untuk kebahagiaanmu ibu. Panjang umur buatmu, dan salam sejahtera buat kita semua.
Seluruh hambatan sudah kami singkirkan. Saatnya mengukuhkan kekuasaan dan memperhebat barisan pertahanan dari kemungkinan gangguan–gangguan pengacau. Meskipun sudah hancur babak belur, tapi kami tetap saja harus mewaspadai kebangkitannya lagi. Mereka itu mudah dihajar sampai luluh lantak, tapi sangat susah mencabut nyawanya.
Jalan satu–satunya adalah menutup pintu buat kehadiran mereka.
Marilah kita berkumpul tuan–tuan. Kita butuh mempersiapkan penjaga rumah yang tangguh untuk menjaga pintu rumah kita. Karena ini masalah politik, maka kita harus punya senjata politik. Bagaimana dengan mempersiapkan aturan larangan bagi berkembangnya gagasan–gasan mereka kembali? atau mengharamkan saja, atau kita sikat siapapun yang coba–coba berani mengganggu kita, atau kita pakai saja semua cara. Bagaimana? itu ide yang baik Tuan. Kita pakai semua cara, dan kita kuatkan metode yang menghantarkan kemenangan pada kita.
Kita harus punya alat politik. Kita pilih lambang singa sebagai cerminan keperkasaan kita. Warna bendera kita adalah kuning sebagai warna yang melambangkan kemakmuran, dengan gambar singa ditengahnya. Bagimana? oh, itu ide yang bagus. Bagaimana, jika kita keluarkan aturan bahwa hanya ada satu partai, yakni partai kita – Partai Singa.
Jangan pakai lambang singa, Tuan. Nama itu tidak baik, tidak familiar dengan rakyat kita. Beratus–ratus tahun lamanya rakyat kita tinggal dihutan-hutan, mereka selalu diganggu oleh Singa, harimau dan binatang buas lainnya. Kenapa tidak memakai lambang pohon tua saja? bukankah pohon tua selalu dipuja dan disembah rakyat kita selama beratus–ratus tahun lamanya, jauh sebelum agama berkembang biak dinegeri kita.
Gagasanmu sungguh cemerlang. Kau seperti pelita didalam kebimbangan, cahaya didalam kegelapan. Siapa namamu? nama saya Hartono, Tuan. Karena kecerdasanmu, saya angkat kau menjadi Menteri Penerangan. Apa kau mau? Ya, apapun akan saya lakukan untuk kejayaan Tuan. Bagus. Kau masih muda, tentu akan memberikan sumbangan pemikiran bagi kejayaan dan kebesaran partai kita.
Begitulah ceritanya Ramli. Ini lah permulaannya. Sebentar, aku buatkan minuman untukmu.
“Biar aku saja yang membuatnya.” Pinta Ramli
“Baiklah kalau begitu.” Jawab Pak Tua itu kalem.
"Ohya, Selamat ulang tahun, Ramli." Ucap sang Kakek.
Randy Syahrizal adalah Kader PRD Sumatera Utara
---------------------------------
[1] Ramli, sudah besar kau rupanya. Berapa umumr kau sekarang ?
[2] Ungku adalah panggilan untuk Kakek
[3] Saya
[4] Duduklah disini, aku ingin bercerita sama kau.
[5] Orang tolol yang melawan Belanda
0 komentar:
Posting Komentar